Jumat, 11 Januari 2013

Puasa dan Lebaran, Bulan Pemborosan?


Bulan puasa dan lebaran Idul Fitri, terutama berlaku di masyarakat Indonesia adalah momentum dimana masyarakat menunjukkan perilaku konsumsi yang meningkat drastis dibandingkan dengan bulan-bulan biasanya. Komoditas paling ’laku’ saat puasa tentu saja adalah bahan makanan, baik bahan baku maupun bahan matang.
Ya, karena sepertinya sebagian besar masyarakat telah memiliki pola pikir bahwa berbuka puasa haruslah menghidangkan makanan-makanan yang wah dan nikmat, karena seharian menahan lapar dan haus. Beberapa saat menjelang lebaran, komoditas makanan akan disaingi oleh komoditas baju, parcel, makanan ringan, dan sebagainya.
Hal ini adalah sebuah fenomena yang terjadi setiap tahun pada bulan puasa dan lebaran. Fenomena yang sudah sangat biasa dan dimaklumi oleh masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, perlu ada cara-cara untuk menyikapi keadaan ini, agar masyarakat tidak terjerumus pada pola hidup yang salah karena sifat konsumtivisme yang berlebihan.
Tentu, yang paling bijak menurut tuntunan adalah semaksimal mungkin menghemat konsumsi barang yang ada. Dalam tuntunan bahkan dijelaskan bahwa meskipun barang yang ada sangatlah melimpah, namun sikap berhemat tetaplah harus ditunjukkan.
Ditinjau dari berbagai sudut pandang, perilaku konsumsi masyarakat yang berlebihan adalah sesuatu hal perlu dihindari, karena akan memberi dampak yang buruk baik bagi individu yang bersangkutan maupun orang lain di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Konsumtivisme jika dibiarkan akan menimbulkan sebuah kesenjangan dan kecemburuan sosial. Akan ada jarak antara masyarakat yang mampu dan memiliki tingkat konsumsi yang tinggi dengan masyarakat yang kurang atau tidak mampu melakukan proses konsumsi, bahkan untuk kebutuhan-kebutuhan primer.
Dalam konsep Islam amatlah jelas, bahwa perilaku konsumsi seharusnya didasarkan pada tujuan awal/motif untuk memenuhi kebutuhan yang diarahkan pada sebuah kemanfaatan (maslahah). Islam mengajarkan tujuan konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT dan sebagai khalifah di muka bumi agar bahagia dunia dan akhirat (falah). Dengan demikian, tujuan utama konsumsi bukan pemaksimuman kepuasan tetapi pemaksimuman falah.
Hal ini berbanding terbalik dengan pola konsumsi yang didasarkan pada sebuah nafsu. Jauh berbeda dengan kebutuhan yang diarahkan pada kemaslahatan, jika nafsu menjadi motif untuk mengonsumsi, maka akan timbul perilaku manusia untuk memperoleh dengan cepat, dan juga biasanya dengan cepat membuangnya.
Nah, selanjutnya, mari kita kembalikan pada diri kita sendiri. Yang mampu mengukur tingkat kebutuhan kita adalah diri kita sendiri. Maka, yang mampu membedakan antara kebutuhan dan nafsu dalam melakukan kegiatan konsumsi adalah diri kita sendiri.
Atau mudahnya, ketika kita hendak membeli sebuah barang, kita sendiri yang tahu, apakah hal ini sebagai kebutuhan yang membawa manfaat atau hanya sebuah keinginan nafsu yang jika dituruti tidak memberi manfaat yang sesuai dengan nilai barang itu. Maka, diri kita sendiri yang mampu menciptakan hidup hemat sesuai dengan ajaran dan tuntunan Islam.

0 Reviews:

Posting Komentar